Kamis, 09 September 2010

WS Rendra, tetap ada.

Baginya, menulis puisi bagaikan yoga sastra
dan bermain drama itu yoga drama, itu ruang
ibadah... Puisi bukan sebatas di atas kertas,
drama bukan sebatas di atas panggung. Ia tak
mau dibatasi hanya sekadar bicara embun yang
jatuh dari ujung daun dan gemercik air kali,
tapi mau mengerti kebijakan ke kuasaan terhadap
nasib rakyat. Dengan demikian, puisinya
hendak terus-menerus melisankan langsung
kepada khalayaknya, bahkan me nyiratkan ambisinya
untuk mengembalikan puisi pada fungsi
sosialnya yang jelas.

Buku ini mengajak pembaca untuk
selalu mengenang Rendra, laki-laki yang
namanya tertulis dengan tinta emas dalam
sejarah teater dan kesusastraan Indonesia
modern. Rendra telah tiada, namun karya kar
yanya yang monumental membuatnya
seperti tak pernah pergi…

”…Rendra konsisten dengan penolakannya itu. Bau-bau otoritas sangat dihindari dalam kehidupan
Bengkel—sebab otoritas hanya milik Tuhan, dan kalau tangan manusia yang memegangnya,
jelas mengakibatkan bencana-bencana. (Emha Ainun Nadjib)

”Ia memang seorang jago dalam hal seni kata dan mencipta hampir semua jenis sastra: puisi,
cerita pendek, lakon, esai, uraian tentang bagaimana bermain drama…” (Bakdi Soemanto)

”Rendra tampil fenomenal sebagai penyair dalam ekspresi puisi-puisinya, yang mengajak orang
kembali ke kehidupan: ke makna dasarnya di mana manusia hidup ”mengalir” di dalamnya…”
(Mudji Sutrisno)

”Rendra tak pernah menuliskan sajak gelap, jauh dari kecenderungan untuk memakai kata-kata
abstrak yang tanpa warna, bunyi, atau bau hutan…” Apa pun ditulisnya (bahkan dalam esaiesainya
memikat) selalu menyebabkan pembaca membayangkan suatu gambaran yang konkret
menyentuh pengalaman.” (Ignas Kleden)

”… Rendra menggebrak untuk kepentingan orang-orang terlempar itu—tidak kepada langit, atau
hidup, melai nkan kepada dunia, kepada lingkungan yang nyata.” (Syu’bah Asa)
sumber: buku "Rendra, Ia tak pernah pergi" penerbit: buku kompas.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar